Penulis: Hendri Kremer
Dosen di Yayasan Vitka (Batam Tourism Polytechnic dan Institut Teknologi Batam)
Haluan Kepri (3 Maret 2018): MENGAPA kopi rasanya tanpa gula pahit? Mungking apa yang penulis akan jelaskan disini bukan persoalan kopi pahitnya. Namun, tanpa ngopi istilah jalanan yang selalu dilontarkan bagi orang-orang yang akan berkumpul hanya sekedar tukar pikiran atau brainstorming dengan teman dan koleganya.
Istilah ngopi sebenarnya, selain memesan kopi sebagai salah satu doping agar bertambah asyik dalam obrolannya. Kopi juga di sugesti sejak dulu sebagai bahan anti kantuk yang lumayan murah, dan efeknya bagi kesehatan memiliki keuntungan negative dan positif, selain memiliki rasa pahit yang kental, kopi menjadi salah satu ikon yang membuat kita yang meminumnya semakin bergairan dalam membahas sesuatu topic.
“Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya. karna dihadapan kopi kita semua sama.” Begitulah kira-kira filosofi kopi yang membuat kopi menjadi trademark bagi pelengkap pembahasan topic yang hangat saat ini.
Lihat saja, ketika seorang sahabat yang lama tidak bertemu dan ingin mendekatkan silaturahmi dengan kita ajakan awalnya adalah “Yuk, ngopi yuk. Sekedar nyantai, kebetulan lagi ngak ada kegiatan saat ini.”
Begitulah salah satu contoh kata-kata ajakan mengapa warung kopi menjadi ramai saat pagi hari, siang hari, dan sore hari. Tidak lain tidak bukan adalah tempat pelepas rindu bagi mereka yang bertemu dengan teman, pacar, keluarga, dan orang-orang terdekat.
Mungkin bagi sebagian orang adalah candu, namun dibalik semua itu terdapat filosofi kehidupan tentang kata bijak dari maksud ‘ngopi’ yang di dalamnya terdapat berbagai pesan dan juga motivasi dari secangkir kopi yang kita minum. Dari hasil ngolah pikiran itu kita dapat mengambil pelajaran hidup yang tidak selalu manis, akan selalu ada kepahitan namun jika kita mampu melewatinya maka akan tercipta kenikmatan yang tidak terhingga.
Secangkir kopi mengandung beribu filosofi tergantung bagaimana kita memaknainya. Aroma yang khas dan menenangkan dari secangkir kopi dapat membuat kita kembali rileks dan melupakan sejenak permasalah hidup yang membelenggu.
Ajakan ‘Ngopi’ yang penulis maksud disini adalah adalah kepanjangan dari ‘Ngolah Pikir’ karena pikiran tanpa diolah tidak akan menjadi ide atau awal dari pemikiran yang unik. Ngolah pikir denga cara yang paling santai sambil menampung berbagai masukan dari lawan bicara, pokoknya bahasan yang multi knowledge menjadikan ngopi sebagai salah satu jalan keluar mencari solusi dari problema hidup dalam artian positif.
Tidak heran jika di Kepulauan Riau ajakan ngopi pun selalu disambut dengan riang gembira sebagai cara mencari jalan keluar. Disatu sisi memberikan kontribusi bagi perekonomian yang notabene meramaikan tempat-tempat minum kopi menjadi ramai dikunjungi pengunjungnya. Bahkan warung kopi yang memiliki rasa yang berbeda selalu diburu para penikmat kopi sambil mengolah pikiran dengan lawan bicaranya.
“Cuma Segelas Kopi yg bercerita kepadaku bahwa yg hitam tak slalu kotor dan yang pahit tak slalu menyedihkan.” Begitu mungkin perumpamaan kopi sebagai salah cara menggambarkan sesuatu yang hitam tidak selalunya kotor, namun ada kemanisan dan rasanya yang hanya bisa dinikmati oleh para penikmat kopi sejati guna memberikan inspirasi bagi masing-masing orang dalam memaknai kopi bukan sekedar dinimuan tapi dalam aktivitas meminum kopi penuh dengan syarat.
‘Ngopi’ dalam bidang komputer adalah menggandakan file, tapi ngopi yag dimaksud sebenarnya dibalik kopi sebagai sajiannya adalah mengolah pemikiran dengan kita berkumpul bareng saling bertukar pikiran, namun biar lebih santai ngumpulnya adalah di warung kopi sambil menikmati secangkir kopi. ngopi atau ngolah pikir bertujuan untuk menjalin silaturahmi dan saling saring,ajang nyantai, ngumbar(ngumpul bareng), menghibur diri melupakan sejenak masalah-masalah hidup dengan “ngumbar” sama teman-teman.
Namun begitu, jumlah pengunjung warung kopi hampir sebagian besar adalah kaum pria, entah mengapa mungkin para pria senang mengunjungi warung kopi sambil ngobrol berjam-jam namun hampir sebagian besar mulai membahas persoalan yang membuat mereka merasa mendapatkan ide dalam mengerjakan sesuatu, tidak jarang warung kopi menjadi saran multi fungsi mulai dari soal pekerjaan, dan juga menyelesaikan masalah persoalan sehari-hari. Sedangkan persentase wanita yang mengunjungi warung kopi jauh lebih sedikit jika dibandingkan kaum pria.
Padanan kata yang tepat untuk kaum hawa dalam membahas sesuatu adalah ‘Ngerumpi’. Loh, apa bedanya dengan ‘Ngopi’ yang maknanya dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah mengobrol sambil bergunjing yang dilakukan dalam berkelompok, lokasi ngerumpi pun sporadis, mulai dari rumah ke rumah, pasar, hingga salon. Tergantung topik bahasan yang berkaitan erat dengan feminimisme.
Baiklah, bukan melihat dari segi laki-laki atau perempuan yang ingin penulis jelaskan. Disini kita melihat asumsi bahwa ngopi dan ngerumpi tidak jauh bedanya jika dimaknai. Hanya saja, ngerumpi kesannya baik dari segi agama maupun pergaulan negative.
Salah seorang peneliti komunikasi, Michael Guriaan dalam bukunya What Could He Be Thinking? How a Man’s Mind Really Works, menjelaskan ada perbedaan mendasar antara otak pria dan wanita yang terletak pada ukuran bagian-bagian otak, dan bagaimana bagian itu berhubungan, serta bagaimana cara kerjanya. Mari kita lihat tinjaun ngerumpi dari pimikiran ahli tersebut.
Perbedaan spasial
Dibanding dengan otak wanita, otak pria memang lebih berkembang serta mempunyai spasial yang lebih kompleks, misalnya mempunyai kemampuan lebih dalam hal perancangan mekanis, pengukuran penentuan arah abstraksi, serta manipulasi benda-benda fisik.
Makanya para pria umumnya lebih suka mengutak-atik kendaraan dibanding wanita.
Adanya Perbedaan kemampuan verbal
Ada perbedaan yang sangat mencolok antara otak pria dan wanita dalam hal kemampuan verbal atau mengolah kata. Daerah korteks pada otak pria umumnya lebih banyak dipakai untuk melaksanakan fungsi-fungsi spasial. Dan daerah korteksnya juga cenderung memberi jatah yang lebih porsi sedikit untuk menghasilkan dan mengolah kata.
Disamping itu kumpulan saraf yang menghubungkan corpus collosum ( otak kiri dan otka kanan ) pada pria ukurannnya seperempat lebih kecil dibanding otak wanita.
Pria seringnya hanya menggunakan belahan otak kanan, sedangkan otak wanita mampu memaksimalkan keduanya, belahan otak kiri dan belahan otak kanan.
Itulah sebabnya mengapa wanita lebih banyak bicara dan bawel jika dibandingkan dengan pria.
Bahkan dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa wanita umumnya menggunakan 20.000 kata per hari, sedangkan pada pria hanya 7.000 kata ! 3 kali lipat bedanya.
Namun adanya perbedaan ini juga memberikan efek lain tersendiri.
Wanita lebih mampu memaksimalkan pekerjaan multi tasking dibanding pria. Misalnya memasak sambil menggendong bayi, menjahit sambil melihat televisi, dan sebagainya.
Adanya perbedaan dalam hal bahan kimia
Ini menjelaskan kenapa pria umumnya lebih cepat marah dan naik pitam dari pada wanita. Otak wanita lebih banyak mengandung serotonin. Satu zat yang berpengaruh dan membuat seseorang bersikap tenang. Makanya wanita lebih tenang dalam bereaksi untuk menanggapi ancaman yang bersifat fisik.
Sedangkan jika yang menghadapi pria, ia lebih cepat naik pitam.
Selain serotonin, otak wanita juga mempunyai oksitosin, yaitu zat yang mengikat manusia dengan manusia lain atau dengan benda lebih banyak. Dua hal inilah yang sangat mempengaruhi kecenderungan biologis antara pria wanita. Pria, bertindak lebih dahulu ketimbang bicara. Tentang Wanita, sebaliknya.
Perbedaan dalam memori otak
Ternyata pusat memori ( hippocampus ) pada otak wanita lebih besar dibanding pria.
Itulah sebabnya pula jika pria lebih mudah lupa. Sementara wanita bahkan masih bisa mengingat segala detailnya.
Tidak itu saja, hasil riset menyebutkan 70 persen pengguna internet adalah perempuan, namun mereka melakukan aktivitasnya di media sosial internet lebih sebagai kepanjangan tangan dari hobinya “ngerumpi”, kata ilmuwan Prof Dr Siti Musdah Mulia. Yang juga anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Pengetahuan dalam teknologi ternyata tidak meningkatkan produktivitas tetapi sebaliknya membuat para perempuan tidak produktif karena mengesampingkan pekerjaannya demi kesibukannya “ngobrol” di depan layar komputer.
Alih-alih meningkatkan sikap kritis, ujar aktivis perempuan itu, yang muncul malahan sikap narsis dengan menuliskan status-status yang berpusat tentang dirinya, sikap konsumtif membelanjakan uangnya untuk berbagai barang di media sosial serta sikap hedonis yang seperti kecanduan media sosial. Jadi, jelas disini, pria dan wanita memiliki kecendrungan saling mengeluarkan apa yang dipikirkannya, namun dengan media yang berbeda-beda. Baik negatif maupun positif***